LARI DARI BODOH
15.41 | Author: CORPS BRIBU
Oleh: Fajar Wahyu Widodo*

Kembali saya terkenang pada sebuah cerita yang selalu didongengkan oleh ibu saya sebagai pengntar tidur pada waktu kecil. Masih sangat segar dalam ingatan, hampir setiap minggu sekali, ibu saya memperdengarkannya. Ceritanya mengenai nasib orang bodoh dan lugu. Dengan kebodohan dan keluguannya, dia selalu bernasib sial. Sangking sialnya, setiap orang yang dekat dengannya akan ketiban sial juga. Pokoknya parah sekali. Bahkan kematiannya pun disebabkan karena kebodohan dan keluguannya. Oleh karena itu, disetiap akhir ceritanya, ibu saya selalu menyematkan sebuah pesan moral agar saya setelah besar nanti tidak menjadi orang yang bodoh. Makannya, ibu saya bertekad untuk mendidik saya agar menjadi orang pintar. Dan saya pun menggemgam erat wejangan dari ibu saya dengan gemgaman yang paling kuat.

Kini 15 tahun telah terlewatkan. Saya tidak tahu apakah harapan ibu saya itu sudah terwujud atau belum. Walaupun sekarang sudah duduk selama 9 semester dibangku kuliah, saya masih belum berani menyematkat kata pintar dalam dada ini. Rasanya dada ini selalu sesak ketika kata pintar akan saya masukan. Mungkin karena beban mental. Selama ini saya beranggapan bahwa biasanya justru orang pintar akan terjebak dalam makna. Dalam artian, kebanyakan orang yang pintar akan terjebak dalam makna kepintarannya, sehingga akan timbul rasa sombong, congkak, dan takabur yang berlebihan dengan menganggap orang di sekitarnya memiliki setrata pengetahuan yang lebih rendah bila dibandingkan dengannya.

Dua hari yang lalu, saya tidak sengaja mendengarkan percakapan dua orang nenek di samping teras rumah. Awalnya saya tidak mengindahkannya. Namun, karena diskusinya kelihannya menarik, akhirnya saya memutuskan untuk menyimak percakapan keduannya. Salah seorang nenek mengatakan bahwa dia sangat benci dengan orang pintar. Sontak saya kaget bukan kepalang. Sebenarnya, pada waktu itu saya ingin melayangkan kata protes kepada si nenek. Namun, saya masih mampu menahan amarah yang meluap-luap.

Dengan sedikit menghela nafas, saya mulai menyimak percakapan mereka kembali. Setelah sepuluh menit berselang, saya mulai merenungkan perkataan sinenek. Dengan sedikit tersenyum simpul, saya baru tersadar bahwa perkataan nenek tadi ada benarnya juga. Salama ini ternyata saya keliru memahami arti sebuah makna kebodohan dan kepintaran. Saya selalu meletakkan kata pintar di atas kata bodoh. Tidak perduli dalam konteks apa masalah itu terjadi. Yang jelas saya selalu melakukannya sedari kecil, tanpa memandang sisi lain yang bergulat dalam dua kata tersebut.

Bodoh selalu saya beri arti sebuah ketidakbisaan tentang dan terhadap suatu hal. Sedangkan pintar memiliki makna sebuah kemampuan dalam memahami dan melakukan sesuatu. Saya selalu beranggapan bahwa kata pintar selalu memeliki derajat yang lebih tinggi dari pada pintar. Padahal sebenarnya hakikat makna bodoh dan pintar tidak hanya mandek dalam tataran itu saja.

Sebenarnya, kata bodoh tidak perlu ditakutkan. Selama ini orang selalu Phobia dengan istilah bodoh. Seolah-olah langit akan runtuh menimpa kepala ketika seseorang mendapatkan predikat kata bodoh. Teman saya pernah berujar, kalau kegagalan yang tertunda, maka bodoh adalah kepintaran yang tertunda. Berdasarkan penerawangan saya selama ini, orang dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe. Pertama, orang yang tahu bahwa dirinya tahu, kedua, orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu, ketiga, orang yang tidak tahu bahwa dirinya tahu, dan yang keempat adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.

Dengan kata lain, Orang yang paling beruntung di dunia ini adalah orang yang tahu bahwa dirinya tudak tahu. Sedangkan orang yang tersial adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Maka berbahagialah orang-orang yang tidak tahu dalam ketahuannya
05.04 | Author: CORPS BRIBU
(LASKAR) PEMBELA LASKAR PELANGI
05.41 | Author: CORPS BRIBU
Oleh. Fajar Wahyu Widodo*

Begitu banyak kritik, cercaan, dan hujatan yang dilontarkan untuk film laskar pelangi akhir-akhir ini. Hampir setiap orang menggunjingnya. Termasuk teman-teman saya di kampus maupun di kos-kosan. Mereka bilang, bahwa film lascar pelangi telah menyalahi garis-garis besar haluan novel (GBHN) laskar pelangi yang memang terlahir terlebih dahulu dibandingkan filmnya. Namun, bagi teman-teman saya yang belum sempat membaca novel laskar pelangi, lebih banyak diam dan mengambil jarak aman dengan memilih netral. Termasuk saya.

Saya paham betul kenapa teman-teman saya bisa berbuat seperti itu. Hal ini memang sangat wajar bagi orang-orang yang belum begitu faham perbedaan antara film dan novel. Sejatinya ada beberapa hal yang menyebabkan asumsi-asumsi itu muncul. Pertama, paradigma seseoarang akan selalu mengukur (membandingkan) segala sesuatu dengan sesuatu yang sifatnya lebih awal. Tak terkecuali antara film laskar pelangi dan novelnya. Pada kasus ini, memang kebetulan Novelnya lebih dahulu keluar, kemudian baru filmnya. Secara psikologis, orang akan selalu berpatokan pada sesuatu yang munculnya lebih awal (dalam hal ini novel laskar pelangi). Pada tataran ini orang akan selalu mengkritik adegan-adegan film yang tidak sesuai dengan novel. Baik dari segi karakter, setting tempat, plot, bahkan penambahan dan penghilangan beberapa tokoh. Inilah yang selama ini memancing adanya cercaan dan kritikan terhadap film laskar pelangi. Kondisi ini akan amat berbeda, jika sekuel film laskar pelangi lebih dahulu muncul dibandingkan dengan novelnya. Saya pikir justru akan banyak cercaan yang akan ditimpakan pada novelnya.

Kedua, dalam film, imajinasi kita (pembaca) akan dibatasi, disetir dan cenderung dipaksa oleh imajinasi sutradara. Dalam film kita tidak diberi kesempatan untuk memilih imajinasi berdasarkan interpretasi kita sendiri. Kita tidak boleh memilih sendiri tokoh favorit untuk bermain dalam film. Terkadang tokoh yang paling kita sukai dalam novel justru diperankan oleh aktor ataupun aktris yang paling kita benci. Interpretasi kita tentang seting tempat, plot, dan lain sebagainya juga akan dikebiri oleh si sutradara. Sering kali, segala sesuatu yang kita pikirkan dan kita bayangkan, akan sangat berbeda dengan penilaian dari sutradara. Semuanya akan dimonopoli oleh si sutradara. Hal ini akan berbeda ketika kita membaca langsung novelnya. Dalam novel, kita bisa mengekspresikan segala sesuatu yang kita inginkan. Kita bisa mengimajinasikan tokoh-tokohnya dengan orang yang paling kita sukai. Kita bisa mengimajinasikan setting tempat dengan tempat yang paling kita sukai. Tanpa takut ada orang yang memaksa dan menghalag-halangi kita dalam mekeksplorasi sebuah novel.

Ketiga, tidak semua bahasa tulis bisa dimanivestasikan kedalam bentuk bahasa visual. Termasuk novel laskar pelangi. Ada beberapa muatan dalam bahasa tulis yang memang tidak bisa terdeteksi dan terwakili jika dirubah kedalam bentuk bahasa visual. Bahasa visual juga demikian. Akan ada sesuatu yang hilang, jika bahasa visual dirubah kedalam bentuk bahasa tulis. Jadi, antara bahasa tulis dan bahasa visual memiliki keunggulan tersendiri dan memiliki muatan khusus yang tidak bisa diterjemahkan antara yang satu dengan yang lain.

Dari beberapa analisis di atas, jelaslah bahwa antara novel dan film, memliliki jarak perspektif yang sangat jauh berbeda. Film bergerak dalam ranah bahasa visual dan audio, sedangkan novel bergerak dalam ranah bahasa tulis. Tak terkecuali antara film laskar pelangi dengan novel laskar pelangi. Saya pikir, memang perbedaan di antara keduanya wajib adanya, kareana mereka bergerak dalam ranah yang berbeda pula. Sudah saatnya kita berfikir lebih dewasa dalam menyikapi hal-hal seperti ini.
MEMPERTANYAKAN EKSISTENSI TUHAN
21.31 | Author: CORPS BRIBU
Kampus merupakan salah satu bentuk dari sebuah miniatur dari mayarakat. Di kampus, dapat ditemui berbagai macam mahasiswa dengan latar belakang yang berbeda. Baik dari segi suku, agama, ras, profesi, tingkat intelektual, signifikansi wajah, dan lain sebagainya. Selain itu, ada pula perbedaan yang tidak bisa diindra secara kasat mata. Perbedaan itu adalah pemikiran dan cara pandang setiap mahasiswa terhadap sesuatu. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap mahasiswa memiliki paradigma berbeda dengan paradigma mahasiswa yang lainnya. Hal ini menjadi sesuatu yang lumrah. Sebenarnya pemikiran-pemikiran yang ditelurkan oleh mahasiswa-mahasiswa di lingkungan kampus tidak terlepas dari berkembangnya pemikiran-pemikiran yang beredar secara luas di masyarakat umum.

Salah satu pemikiran dan cara pandang mahasiswa yang selalu dipergunjingkan dalam ranah masyarakat kampus adalah masalah eksistensi Tuhan. Sebenarnya cara pandang mahasiswa terhadap eksistensi Tuhan yang beredar di lingkungan kampus dapat dikelompokkan menjdi tiga.

Pertama, mahasiswa yang pro dengan sosialis. Dalam cara pandangnya, mereka banyak mengadopsi pemikiran-pemikira dari Marx. Salah satunya adalah pemikiran Marx yang menganggap agama adalah candu (the oppiate of the masses). Kedua, mahasiswa yang pro kapitalis sekuleris. Walaupun cara pandang mereka yang meyakini keberadaan Tuhan, namun mereka telah memisahkan antara kekuasaan Tuhan dan kekuasaan manusia. Mereka membagi kekuasaan Tuhan pada ranah religius dan kekuasaan duniawi dipegang penuh oleh manusia. Ketiga, mahasiswa yang pro Islam. Mereka beranggapan bahwa eksistensi atau keberadaan Tuhan tidak perlu diragukan lagi dan tidak dapat diganggu gugat. Mereka juga beranggapan bahwa eksistensi Tuhan tidak hanya terbatas pada sisi religius saja, melainkan juga sisi kehidupan duniawi.

Sesungguhnya, ketika berbicara masalah eksistensi Tuhan, tidak dapat dilepaskan dari naluri beragama atau naluri untuk bertuhan. Ada sebuah kisah menarik yang masih belum banyak terekspos di masyarakat umum. Kisah ini dialami oleh Joseph Stalin. Pada saat ia sakit parah dan menunjukkan adanya indikasi yang mengarah pada kematian, salah satu penggerak Revolusi Bolshevik ini hanya ditemani oleh beberapa pelayan terpercayanya. Sesaat sebelum maut menjemputnya, Stalin meminta kepada pelayannya untuk memanggilkan seorang pastur agar diajarkan cara berdo’a. Permintaan Stalin ini sontak membuat kaget para pelayannya. Namun, karena Stalin memaksa, akhirnya seorang pastur pun dipanggil untuk mengajarinya berdoa. Di hadapan sang pastur, Stalin berujar dalam bahasa Rusia “man of stee”l yang artinya, “Pastor, ajarkanlah saya berdoa.” Konon, itulah kalimat terakhir yang diucapkannya sebelum ajal menjemput.

Cerita di atas menegaskan sesungguhnya jauh dalam palung hati setiap manusia ada sebuah rasa untuk mengkultuskan dan mengagungkan sesuatu hal, baik yang dapat diindra maupun yang tidak dapat diindra sekalipun. Serta menganggap bahwa ada kekuatan yang jauh lebih besar dan maha dahsyat yang menyelimuti dunia ini. Perilaku seperti ini sudah menjadi naluri dan sunnatullah yang keberadaannya tidak bisa ditolak dan ditawar lagi.

Prof. Dr. H. Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Agama menjelaskan bahwa agama tampaknya tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama agaknya dikarenakan faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya sulit dilakukan. Ketundukkan manusia pada Zat yang gaib merupakan bagian dari faktor intern manusia yang dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (self) ataupun hati nurani (conscience of man).

Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Albert Einstein dalam sebuah artikelnya. Ia menulis “Everyone who is seriously involved in the pursuit of science becomes convinced that a spirit is manifest in the laws of the Universe-a spirit vastly superior to that of man… In this way the pursuit of science leads to a religious feeling of a special sort, which is indeed quite different from the religiosity of someone more naïve (Letter to a child who asked if scientists pray, 24 Januari 1936; Einstein Archive, 42-601).”

Menurut Rudolf Otto, seorang filsuf dan teolog Jerman, kekaguman yang dialami Einstein timbul dari perasaan yang bersumber dari adanya The Wolly Others dan yang menimbulkan perasaan getaraan yang misterius (mysterium tremendum). Sedangkan yang dialami Stalin, menurut Sigmund Freud adalah gejala kejiwaan yang menimbulkan rasa bersalah (sense of guilt) serta takut akan kematian (death urge).

Stetmen-stetmen di atas merupakan pukulan telak bagi orang-orang yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Dunia seisinya tidaklah terbuat oleh materi saja yang terjadi secara kebetulan. Melainkan ada kekuatan maha dahsyat di belakang semua ini. Alam semesta ini terbentuk dari skenario-skenario yang sangat sempurna. Socrates saja pernah mengatakan “Tidak mungkin ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan.” Perkataan Socrates ini kembali menegaskan bahwa alam semesta ini ada karena ada yang mengadakan. Tidak mungkin ada sesuatu kecuali ada yang mengadakan. Dan itu adalah Tuhan.

Ada sebuah kisah yang berasal dari bagdad. Pada masa itu ada orang pintar yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Dia menantang seluruh kaum muslim untuk menjawab tiga pertanyaannya. Namun tidak ada satu orang pun yang bisa menjawabnya. Kemudian muncullah bocah berumur 10 tahun yang menerima tantangannya. Langsung saja orang tadi melontarkan pertanyaan pertamanya dari sebuah podium “Apa yang dilakukan Tuhanmu sekarang?”. Bocah tadi meminta orang itu untuk turun dari podium agar dia biasa menjawab pertanyaannya dari podium. Bocah tadi menjawab “Allah baru saja menurunkan manusia laknat dari sebuah podium dan mengangkat seorang bocah diatas podium”. “Apa yang ada sebelum Tuhanmu?”. Si bocah menyuruh orang tadi berhitung dari 0-10. lalu si bocah bertanya “Angka berapa sebelum 0?”. Orang tersebut tidak bisa menjawabnya. Dengan sedikit malu dia melemparkan pertanyaan terahir “Kemanakah tuhanmu menghadap?”. Sibocah kemudian mengambil dan menanyakan lilin. Si bocah bertanya kepada orang itu “kearah manakah cahaya lilin menghadap?”. “ kesemua arah” jawab orang tadi. Si bocah kemudian menjawab “Seperti itulah cahaya Allah menghadap.

Pengakuan terhadap eksistensi Tuhan merupakan sebuah bagian dari naluri beragama. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, naluri beragama (gharizah at-tadayyun) adalah kebutuhan internal dalam diri manusia. Ia akan bereaksi terhadap stimulan semisal fenomena alam semesta dan juga adanya ancaman. Tuduhan Sigmund Freud yang menganggap bahwa kepercayaan terhadap agama dan Tuhan adalah neurosis, atau gangguan jiwa atau sesuatu yang datang dari alam bawah sadar manusia (unconscious mind) adalah salah besar. Sampai saat ini pun belum ada penelitian ilmiah yang dapat mendukung stetmen dari Sigmun Freud. Kebutuhan agama yang dirasakan oleh stiap manusia merupakan bagian alamiah akan pemenuhan dari sebuah naluri. R. Joseph dalam Neuro Theology: Brain, Science, Spirituality, Religious Experience, menuliskan:

“Pernah diumumkan bahwa Tuhan sudah mati dan bahwa spiritualitas adalah candu bagi rakyat. Tetapi, sekarang sudah ditemukan dasar ilmiah, neurologis, dan genetis untuk kepercayaan agama, spiritualitas dan gejala paranormal, termasuk pengalaman tentang dewa, setan, arwah, nyawa dan kehidupan setelah kematian. Ada bagian tertetnu dari otak yang menjadi sangat aktif ketika bermimpi selama dalam keadaan trance, meditasi, sembahyang atau karena pengaruh LSD, dan yang memungkinkan kita untuk mengalami wilayah realitas yang biasanya disaring dari kesadaran, termasuk realitas Tuhan, arwah, jiwa dan kehidupan setelah kematian.

Selama ribuan tahun orang tahu bahwa dalam keadaan tidur dan trance, terisolasi, dan karena kelaparan dan kehausan manusia sanggup mengalami wilayah realitas yang biasanya disaring dari permukaan kesadaran. Pada kondisi seperti ini, berbagai bagian dari ssitem neokorteks dan sistem limbik akan menjadi sangat aktif bahkan hiperaktif, sehingga apa yang biasanya disaring itu sekarang dapat dipersepsi. Dalam kondisi ini, ada yang mengaku berbicara dengan Tuhan, untuk menyatu dengan zat spiritual yang agung. Struktur sistem limbik, seperti amigdala, hypocampus, dan inferior temporal lobe telah berulang-ulang ditemukan memberikan dasar bagi pengalaman agama, spiritual, dan mistikal, serta persepsi, ‘halusinasi’ tentang hantu, setan, arwan dan kepercayaan dihuni oleh ruh atau malaikat. Ketika wilayah otak ini dihiperaktifkan, tidak jarang terjadi pengalaman ‘religius’. Tentu saja, ada sebagian orang yang megnatakan bahwa pengalaman ini hanyalah sekedar halusinasi yang dihasilkan oleh otak yang abnormal. Ini benar dalam beberapa kasus. Bukannya karena abnormalitas, pengalaman religius dan pencarian gizi spiritual adalah kejadian umum dan bukan kekecualian. Kemunculan emosi spiritual dan keberagamaan yang alamiah dapat menjelaskan mengapa walaupun diteror dan ditindas selama puluhan tahun, negara-negara totaliter seperti Cina komunis, Kuba dan bekas Uni Soviet tidak mampu dan belum pernah mampu menghancurkan ungkapan agama dan spiritual di negeri mereka.”

Jelas sudah, bahwa dogma-dogma yang didengungkan oleh kaum sosialis komunis dan kaum-kaum yang tidak percaya adanya keberadaan Tuhan adalah salah besar. Penelitian yang dilakukan oleh R. Joseph dalam Neuro Theology: Brain, Science, Spirituality, Religious Experience, mengindikasikan dengan jelas bahwa eksistensi Tuhan tidak perlu dipertanyakan lagi. Penelitian ini sekaligus juga meruntuhkan seluruh doktrin dari kaum komunis yang tidak pernah percaya
pada eksistensi Tuhan.
KELIRU
21.20 | Author: CORPS BRIBU
Cerita ini hanyalah fiktif belaka.
Apabila ada kesamaan tempat, nama, tokoh, dan alur cerita, itu hanya kebetulan belaka dan tidak ada rekayasa.

“Assalammu alikum wr.wb… “ dengan diiringi gerakan kepala imam ke kanan dan ke kiri tanda Sholat subuh, pagi itu berahir.
“Allahu akbar”. Tiba-tiba takbir itu keluar dari arah Tejo dengan diiringi gerakan bangun dari duduk tasyahud. Sontak kelakuan Tejo ini membuat kaget dan heran seluruh jamaah sholat subuh di masjid. Tak terkecuali sobat akrab Tejo sejak kecil. Paimin namanya. Paimin agak mengernyitkan dahinya (tanda keheranan).

Paimin tidak menyangka sobatnya akan melakukan hal ceroboh dan sedungu itu. Pasalnya Tejo menambah satu rakaat lagi setelah imam mengucapkan salam tanda sholat subuh selesai. Padahal Tejo sama sekali tidak masbuk (ketinggalan rakaat sholat subuh). Jadi, pagi itu Tejo melakuakan sholat subuh dengan tiga rakaat. Dengan penuh keheranan

Paimin mendekati Tejo untuk mencari tahu tentang kelakuan temannya itu. “jo, apa yang kamu lakukan? Kok kamu sholat subuh tiga rakaat sih?” tanya Paimin kepada temannya. “gini min, aku melakukan ini bukan berarti tidak punya alasan yang jelas”. Paimin semakin bingung saja dengan jawaban dari Tejo. “maksud kamu apa sih jo, aku gak ngerti? Kamu ini selalu mbulet kalau diajak ngomong”. “jadi gini min, sholat subuh itu kan sesuatu yang baik, tapi kenapa cuma dilakukan dua rakaat? Padahal kalau seseorang ingin melakukan sebuah kebaikan kan gak ada batasannya. Nah, daripada itu, aku punya inisiasi untuk menambah menambah rakaatku. Biar kebaikan yang aku lakukan bertambah kelipatannya dan pahalanya menjadi banyak. Bukan begitu to min??”. “dasar wong gemblung….!!!!!!!” Sahut paimin.

Memang cerita diatas hanyalah sebuah cerita fiktif belaka, entah kejadianya pernah berlangsung atau tidak. Namun, di balik kelucuan cerita ini, ada sebuah ibroh (pelajaran) yang bisa kita ambil. Bukan hanya sholat saja yang pengerjaannya harus sesuai dengan aturan-aturan yang ada agar bisa dinilai menjadi sebuah ibadah. Amalan apa saja bisa menjadi ibadah jika diirngi dengan tiga hal

Pertama, amalan yang kita lakukan harus sesuai dengan aturan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-sunnah. Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai kitab suci, pandangan hidup, dan tuntunan hidup bagi umat muslim diseluruh dunia dari sejak awal turun sampai kapanpun. Sedangakan As-sunah merupakan segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. As-suanh sendiri terbagi menjadi beberapa bagian:
1. Sunah Fi’liyah
Merupakan sunah yang keluar dari perbuatan dan tindak laku Nabi Muhammad SAW.
2. Sunah Qauliyah
Merupakan sunah yang berasal dari seluruh ucapan Nabi Muhammad SAW.
3. Sunah Takririyah
Yaitu diamnya Nabi Muhammad saat melihat tindakan dari sahabat. Contohnya diamnya Nabi waktu melihat salah satu satu sahabat yang memakan daging biawak. Ini berarti daging biawak boleh dimakan oleh orang Islam.
4. Sunah Hammiyah

Cita-cita nabi yang belum terlaksana. Dalam hal ini adalah puasa pada tanggal 9 Muharram.
Jadi seluruh amalan yang kita perbuat dengan atas nama ibadah, tapi tidak diiringi dengan perintah dari Al-Qur’an dan As-sunah adalah perbuatan yang sia-sia belaka dan bisa jadi tertolak hal ini sesuai sabda Nabi Muhammad SAW: Barang siapa melakuakan amalan yang tidak ada perintah dariku, maka amalnya tertolak.

Kedua, niat yang benar. Niat yang benar juga akan brimbas pada amalan yang akan dan telah kita perbuat. Niat tidak hanya secara lisan, tetapi juga harus diiringi dengan ketetapan hati. Sebagaimana sabda Nabi: Segala sesuatu tergantung pada niatnya. Ini berarti, kita tidak boleh menyalahgunakan arti dari niat.

Ketiga, agar seluruh amalan kita diterima harus diiringi dengan keikhlasan. Ikhlas berarti kita nelakukan amalan semata-mata karena Allah tanpa ada embel-embel apapun. Ikhlas sendiri tidak selamanya berarti sebuah kerelaan hati untuk menjalankan perintah Allah tanpa adanya tendensi. Kadangkala, sebuah keihlasan juga harus diiringi dengan paksaan. Hal ini juga sering kiata alami. Contohnya saja, saat adzan sholat subuh berkumandang, dengan sedikit memaksakan diri kita rela pergi kemasjid untuk sholat berjama’ah. Karena konteks kikhlasan disini dibenturkan pada konteks kewajiban.

Agar ibadah kita senantiasa berada dalam koridor Isalm yang benar, tentunya kita harus sering-sering belajar dan mengkaji hukum-hukum Islam yang ada. Hanya dengan itulah kita akan selalu terjaga dari tindakan yang keliru.
BIJI
21.19 | Author: CORPS BRIBU
Aku tidak menyangka bahwa aku akan dilahirkan didunia ini. Aku juga tidak mengira bahwa aku menjadi aku yang sekarang ini. Padahal aku tidak pernah meminta dilahirkan disini dan dilahirkan seperti ini. Semua ini membuatku bingung. Terkadang terbersit sebuah keinginan untuk kembali seperti aku yang dulu. Namun, aku sendiri tidak pernah tahu siapa sebenarnya aku sebelum yang sekarang ini. Aku pun tidak tahu asalku dari mana. Bahkan kadang aku berfikir bahwa aku ini sebelumnya memeng tidak pernah ada. Tapi aku mencoba untuk menerima apa yang aku alami ini. Walaupun terkadang rasa ini membuat dadaku sesak dan ingin meledak.

Langit biru seolah-olah memayungi sebuah dataran hijau yang tak berbatas tepinya. Dari timur, barat, selatan, dan utara yang terlihat hanyalah karpet rumput berwarna hijau tua. Riuh riuk burung selalu mengisi kesunyian dengan suara merdunya membuat area menjadi gembira. Namun, bagiku itu hanyalah nada suram penuh ejekan yang dilontarkan untukku. Di tempat inilah aku pertama kali dilahirkan. Di padang savana inilah aku diadakan untuk menjalani sebuah kehidupan. Dan aku terlahir menjadi biji. Dengan sosokku yang sekarang aku harus menjalankan misi kehidupan. Sebuah misi yang berat. Karena aku sendiri tidak pernah tau, aku ini adalah biji apa.

Aku mulai mencoba memahami fenomena yang ada disavana. Sebuah pohon besar dengan batang kokoh menjualng ke langit. Akar-akarnya merambat jauh dan mencengkeram tanah dengan kuat. Dia begitu gagah dan proporsional. Tiba-tiba terbersit dalam lamunku untuk menjadi dan tumbuh seperti dia. Betapa bangganya aku kalau bisa tumbuh seperti dia. Aku bisa saja menantang langit kalau tubuhku sebesar dan sekokokoh itu. Tidak ada yang perlu aku takutkan dan aku cemaskan dalam hidup ini.

Ah, andai saja aku….. belum selesai aku berandai-andai, tiba-tiba dari arah selatan muncul angin topan yang menggulung-gulung disertai kilatan petir di atasnya. Sesuatu hal yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Topan itu semakin mendekat dan semakin dekat. Mengoyak dan menyapu habis semua yang dilaluinya. Sedikit-demi sedikit, topan itu brgerak mendekati pohon besar. Pohon besar itu terlihat tidak berdaya manakala topan menghempaskannya ke langit dengan akar yang sudah tercerabut. Akar-akar yang begitu kuat, batang pohon yang begitu kokoh tidak mampu melawan amukan topan yang menggila. Topanpun berlalu. Yang tersisa kini hanyalah onggokan kayu besar tanpa nyawa. Sebuah onggokan kayu yang mati tercabik-cabik dan luluh lantak. Aku sungguh tidak bisa membayangkan, bahwa sepuluh menit yang lalu dia adalah sebuah pohon kuat dan besar. Apa yang ada di hadapanku sekarang membuatku tidak percaya.

Perhatianku pun mulai beralih. Sekarang aku memalingkan pandanganku kearah sekawanan rumput liar. Sungguh luar biasa yang dapat aku lihat. Tak sedikitpun dia cidera. Tak sedikitpun dia terkoyak. Tak sedikitpun dia tercabi-cabik dan tercerabut dari akarnya. Dia masih utuh dan sempurna seperti sedia kala. Padahal area inipun tadinya juga terkena amukan topan. Sungguh luar biasa gumamku. Akhirnya, keinginanku untuk menjadi pohon besarpun tiba-tiba musnah dan berubah haluan menjadi keinginan untuk tumbuh seperti rumput liar. Dalam fikiranku, dengan tubuh seperi rumput liar akan membuatku lepas dari mara bahaya. Ternyata aku salah. Baru saja, satu koloni yang terdiri dari ribuan bison telah menyambangi savana ini dan melahap semua rumput yang ada.

Akupun menjadi ketakutan setengah mati. Aku tidak tahu akan memilih jalan hidup seperti apa. Aku terus termenung. Berpacu dengan cepatnya perjalanan waktu. Akhirnya, aku menemukan jalan hidupku. Aku sekarang sudah menjatuhkan pilihanku. Dan aku memilih untuk terus menjadi biji. Aku tidak tahu, keputusanku ini benar atau salah. Aku tidak pernah mencari persetujuan dan pembenaran atas semua keputusanku kepada siapapun. Dalam batinku, dengan cara seperti inilah aku akan selalu terhindar dari bahaya yang mengancam setiap waktu.

Ternyata keputusanku ini salah ketika ayam hutan mendekat dan memakanku. Akhirnya aku baru tersadar ketika tubuhku sudah berada pada jepitan paruh ayam yang kuat. Aku baru sadar bahwa setaiap keputusan dalam hidup selalu mengandung adanya resiko. Entah besar atau kecil. Namun, kesadaranku sudah terlambat. Aku sudah diambang kematian, tanpa aku bisa merasakan nikmatnya sebuah kehidupan..
BELAJAR DARI KUPU-KUPU
21.15 | Author: CORPS BRIBU
Pagi itu, udara masih terasa dingin dan menusuk sampai kesumsum. Kabut tebal juga masih menutupi hampir sebagian pelosok desa Rawa Badak. Tak ada lagi sejengkal bagian desa yang luput dari serbuan kabut. Tadi malam hujan turun dengan deras disertai dengan angin dan sesekali kilatan petir yang menyambar. Sisa-sisa hujan lebat tadi malam masih bisa dirasakan dengan jelas. Air masih setia berkumpul dikubangan jalan rusak yang telah termakan zaman. Entah beberapa lama jalan desa ini tidak disentuh lagi oleh aspal. Tapi jelas, sia-sisa aspal usang masih menghiasi dibeberapa bagian jalan. Kini jalan desa tidak ubahnya seperti susunan bongkahan batu yang tertata rapi.

Di ujung jalan tiba-tiba muncul seorang pemuda dari balik kabut yang mulai menipis. Pemuda yang berperawakan kerempeng dan berkulit gelap. Namanya parno. Dia sedang menyusuri setiap sisi jalan yang ada di desanya. Tidak jelas ia mau berbuat apa. Namun, langkah cepat parno tiba-tiba terhenti tepat didepan pohon sonokeling. Kepompong kupu-kupulah yang membuat langkahnya terhenti.

Dia mengamati dengan jelas kupu-kupu yang hampir keluar dari kepompong. Hanpir semua tenaganya diperas untuk berkonsentrasi didepan kepompong. Tidak sedetikpun ia memalingkan pandangannya dari kepompong. Tiba-tiba lubang kecil mulai tampak dari sudut kepompong. Ia duduk berjam-jam menyaksikan perjuangn kupu-kupu keluar dari kepompongnya. Kupu-kupu terlihat berhenti dan tidak berdaya lagi Saat sebagian tubuhnya sudah mulai keluar dari kepompong. Parno merasa iba melihat perjuangan kupu-kupu.

Dia mempunyai inisiasi untuk membantu kupu-kupu. Diambillah sebilah gunting dari saku celananya. Dengan gunting itulah parno membantu kupu-kupu keluar dari kepompongnya. Kupu-kupu itupun keluar dengan gampangnya. Namun, parno terperanjat karena kupu-kupunya bertubuh besar dengan sayap kecil dan lunglai. Dengan setia, ia menunggu menyaksikan kupu-kupu dengan harapan bahwa suatu saat sayapnya akan tumbuh menjadi besar dan kaut sehingga bisa menopang tubuhnya waktu ia terbang diantara pepohonan. Harapan hanya tinggal harapan. Nyatanya kuku-kupu tadi sayapnya masih saja kecil dan lunglai. Dia menghabiskan sisa hidupnya dengan cara merayap diantara batang pohon tanpa bisa merasakan terbang untuk selamanya.

Apa yang dilakuakan parno dengan segala kebaikannya untuk membantu kupu-kupu keluar dari kepompong ternyata telah menjadi bumerang bagi kupu-kupu tersebut. Dengan bantuan parno justru membuat kupu-kupu tadi tidak bisa terbang untuk selamanya. Ternyata perjuangan kupu-kupu untuk keluar dari lubang kecil di kepompongnya adalah cara untuk memeras cairan dari dalam tubuhnya untuk kemudian disalurkan untuk menguatkan bagian sayap.

Terkadang untuk mencapai sebuah kesempurnaan dan kebahagiaan hidup, kita mutlak untuk berjuang. Berjuang untuk menundukan semua masalah yang merundung diri kita. Justru dengan banyak berjuang akan membuat kita menjadi kuat dan lebih matang. Tidak ada seorangpun yang hidup didunia ini tanpa membawa masalah. Karena hidup adalah kunpulan-kumpulan masalah yang harus kita pecahkan. Kalau kita tidak ingin mendapatkan masalah, maka kita tidak usah hidup. Marilah kita bersama-sama berjuang menghadapi masalah dengan ihlas, sehingga kita mampu untuk terbang seperti kupu-kupu.