LARI DARI BODOH
15.41 | Author: CORPS BRIBU
Oleh: Fajar Wahyu Widodo*

Kembali saya terkenang pada sebuah cerita yang selalu didongengkan oleh ibu saya sebagai pengntar tidur pada waktu kecil. Masih sangat segar dalam ingatan, hampir setiap minggu sekali, ibu saya memperdengarkannya. Ceritanya mengenai nasib orang bodoh dan lugu. Dengan kebodohan dan keluguannya, dia selalu bernasib sial. Sangking sialnya, setiap orang yang dekat dengannya akan ketiban sial juga. Pokoknya parah sekali. Bahkan kematiannya pun disebabkan karena kebodohan dan keluguannya. Oleh karena itu, disetiap akhir ceritanya, ibu saya selalu menyematkan sebuah pesan moral agar saya setelah besar nanti tidak menjadi orang yang bodoh. Makannya, ibu saya bertekad untuk mendidik saya agar menjadi orang pintar. Dan saya pun menggemgam erat wejangan dari ibu saya dengan gemgaman yang paling kuat.

Kini 15 tahun telah terlewatkan. Saya tidak tahu apakah harapan ibu saya itu sudah terwujud atau belum. Walaupun sekarang sudah duduk selama 9 semester dibangku kuliah, saya masih belum berani menyematkat kata pintar dalam dada ini. Rasanya dada ini selalu sesak ketika kata pintar akan saya masukan. Mungkin karena beban mental. Selama ini saya beranggapan bahwa biasanya justru orang pintar akan terjebak dalam makna. Dalam artian, kebanyakan orang yang pintar akan terjebak dalam makna kepintarannya, sehingga akan timbul rasa sombong, congkak, dan takabur yang berlebihan dengan menganggap orang di sekitarnya memiliki setrata pengetahuan yang lebih rendah bila dibandingkan dengannya.

Dua hari yang lalu, saya tidak sengaja mendengarkan percakapan dua orang nenek di samping teras rumah. Awalnya saya tidak mengindahkannya. Namun, karena diskusinya kelihannya menarik, akhirnya saya memutuskan untuk menyimak percakapan keduannya. Salah seorang nenek mengatakan bahwa dia sangat benci dengan orang pintar. Sontak saya kaget bukan kepalang. Sebenarnya, pada waktu itu saya ingin melayangkan kata protes kepada si nenek. Namun, saya masih mampu menahan amarah yang meluap-luap.

Dengan sedikit menghela nafas, saya mulai menyimak percakapan mereka kembali. Setelah sepuluh menit berselang, saya mulai merenungkan perkataan sinenek. Dengan sedikit tersenyum simpul, saya baru tersadar bahwa perkataan nenek tadi ada benarnya juga. Salama ini ternyata saya keliru memahami arti sebuah makna kebodohan dan kepintaran. Saya selalu meletakkan kata pintar di atas kata bodoh. Tidak perduli dalam konteks apa masalah itu terjadi. Yang jelas saya selalu melakukannya sedari kecil, tanpa memandang sisi lain yang bergulat dalam dua kata tersebut.

Bodoh selalu saya beri arti sebuah ketidakbisaan tentang dan terhadap suatu hal. Sedangkan pintar memiliki makna sebuah kemampuan dalam memahami dan melakukan sesuatu. Saya selalu beranggapan bahwa kata pintar selalu memeliki derajat yang lebih tinggi dari pada pintar. Padahal sebenarnya hakikat makna bodoh dan pintar tidak hanya mandek dalam tataran itu saja.

Sebenarnya, kata bodoh tidak perlu ditakutkan. Selama ini orang selalu Phobia dengan istilah bodoh. Seolah-olah langit akan runtuh menimpa kepala ketika seseorang mendapatkan predikat kata bodoh. Teman saya pernah berujar, kalau kegagalan yang tertunda, maka bodoh adalah kepintaran yang tertunda. Berdasarkan penerawangan saya selama ini, orang dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe. Pertama, orang yang tahu bahwa dirinya tahu, kedua, orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu, ketiga, orang yang tidak tahu bahwa dirinya tahu, dan yang keempat adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.

Dengan kata lain, Orang yang paling beruntung di dunia ini adalah orang yang tahu bahwa dirinya tudak tahu. Sedangkan orang yang tersial adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Maka berbahagialah orang-orang yang tidak tahu dalam ketahuannya