Oleh. Fajar Wahyu Widodo*
Tahu tidak, hari ini saya lagi boring.mau makan tapi tidak ada rasa lapar yang menyerang seperti biasanya. Mau tidur tapi tidak nagantuk. Saya jadi bingung sendiri dengan kondisi yang saya alami. Saya lagi pusing berat. Padahal tadi malam saya baru tidur jam 12 malam. Bukannya apa-apa, tapi tadi malam itu, ada teman yang ngajak saya main poker. Tapi tetap saya yang jadi pemenangnya. Itulah kenapa kalau saya di kos-kosan sering dipanggil si raja poker (Good Of Poker). Sampai saat ini dan detik ini belum ada yang bisa menandingi kedigdayaan saya dalam bidang perpokeran.
Tapi yang jelas, dalam tulisan ini saya tidak akan berbincang masalah kemampuan eksistensi saya dalam bidang perpokeran yang sudah tersohor di seantero gang tempat saya bermukim. Selama ini, poker bagi saya bukanlah segala-galanya dan juga bukan menjadi tujuan utama dalam hidup. Poker hanyalah jadi selingan diantara ruetnya sejuta masalah yang merundung anak kos-kosan. Selingan yang tidak terlalu penting. Namun, poker akan menjadi sesuatu hal yang penting dan menghasilkan manfaat, jika diselipkan sedikit diskusi di dalamnya. Nampaknya hal itu sering kami lakukan bersama dengan teman-teman geng saya. Biasanya kami berbincang dengan topik berfariasi, yakni masalah agama, politik, filsafat, sampai masalah cinta. Namun masalah yang kami bahas tadi malam agaknya berbeda dengan tema bahasan kami selama ini.
Tema kehidupan. Tema inilah yang tiba-tiba muncul di permukaan awal diskusi kami. Awalnya teman saya melontarkan sebuah permasalahan dalam hidupnya. Permasalahan yang selama ini membuat tegang seluruh urat saraf otaknya. Saya faham betul kenapa teman saya sampai sebegitu bingungnya dengan permasalahannya. Teman saya yang satu ini memang unik dinandingkan dengan teman yang lainnya. Dia tidak akan berhenti berfikir dan mencari jawaban dari setiap masalah dalam kehidupannya. Permasalahannya menurut saya sepele saja. Namun karena teman saya ini selalu terbiasa dengan gaya berfikir mendalam, jadi dia lupa pada pola berfikir permukaan (sederhana). Mungkin dia lupa bahwa tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan cara berfikir mendalamnya. Ada kalanya sebuah masalah justru bisa diselesaikan denagan cara berfikir sedethana. Tentunya kita masih ingat dengan cerita peletakan hajar aswad ke tembok kakbah. Bukankanh permasalahan ini adalah permasalahan yang bagi suku kuraish. Masalah yang sempat membuat adu jotos. Tetapi masalah ini justru dapat diselesaikan dengan mudah oleh seorang pemuda bernama Muhammad dengan cara berfiir sederhana.
Bukankah ada pepatah “gajah di pelupuk mata tidak terlihat, tapi kuman diseberang kelihatan”. Gajah dan kuman di sini saya posisikan sebuah alternatif solusi dari sebuah permasalahan. Sayangnya teman saya sudah terbiasa untuk mengambil kuman tadi dari pada gajah yang ada di dekatnya sebagai alternatif solusi dari permasalahannya. Padahal ketika tenman saya ingin mengambil kuman sebagai alternatif solulisi permasalahannya, maka dia harus puluhan kilo meter untuk meraihnya.
Saya pikir (firus) cara berfikir seperti ini telah merambah sebagian besar kaum intelektualitas kita. Tak terkecuali intelektual yang duduk di jajaran birokrasi bangsa ini. Mereka sering melihat jauh keluar untuk menyelesaikan masalah-masalah di negeri ini. Padahal masalah-masalah yang ada di Indonesia jauh berbeda dengan masalah negara lain. Indonesia memiliki keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang lainya. Dengan pola seperti inilah lahir kebijakan-kebijakan yang tidak relevan, berpijak, dan tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat. Sekarang kita ambil contoh dalam bidang pendidikan. Selama ini, kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia lebih merujuk pada pemikir-pemikir dari luar. Khususnya bangsa barat. Seperti aliran Nativisme, Empirisme, natiralisme, konfergensi, kognitifisme, behaviorime, konstruktifisme, dll. Selain itu kita kita juga sering mengambil teori-teori dari John Lock, Imanuel khan, Plato, Sokrates, Hegel, Aristoteles, dll.
Padahal belum tentu aliran dan pemikiran mereka bisa diterima oleh bangsa ini. Pasalnya, kebiasaan dan kebudayaan barat sangat jauh berbeda dengan sosio kultural bangsa indonesia. Apa jadinya kalau sebuah sistem atau pemikiran yang tidak relevan kemudian dikonfrontasikan dengan sebuah tatanan nilai luhur yang sudah berakar di indonesia?. Bukan tidak mungkin akan terjadi Sistem Of Chaos. Sudah saatnya kita berani untuk membuah sebuah Counter Coultur. Membuat arus perlawanan.
Selama ini memang sering banyak terjadi benturan konsep kelokalan dan konsep keglobalan. Para penganut konsep keglobalan menginkrarkan”budaya dunia adalah warisan kami”. Sejak itulah warisan budaya lokal menjadi sebuah tradisi kecil dan termarjinalkan dalam pendidikan Indonesia. Pendidikan merupakan potret telanjang dari bangsanya. Pengetahuan lokal yang berakar pada nilai-nilai kebudayaan tentang fakta lokal seharusnya menjadi trendsetter dengan mengangkat pengalaman-pengalaman otentik lokal. Inilah yang seharusnya diangkat oleh pemerintah, kemudian dijadikan sebagai sebuah pijakan dalam menentukan kebijakan.
Berpijak pada penggolongan intelektual Edward Silhs, apakah pemikir-pemikir yang berkecimpung dalam dunia pendidikan kita tergolong intelektual produktif, reproduktif, dan konsumtif?. Intelektual produktif merupakan intelektual otentik yang membangun pemikirannya sendiri atas fakta zamannya, yang belum ditemukan oleh intelektual manapun. Intelektual reproduktif adalah intelektual yang melahirkan teori-teori dari pemikiran kaum intelektual produktif. Sedangkan intelehtual konsumtif adalah intelektual pemakai dari intelektula produktif maupun reproduktif. Eksistensialisme pendidikan Indonesia seharusnya berorientasi pada paradoks produktif. Kalaupun itu tidak bisa, reprodutifpun jga tidak apa-apa. Aslakan dengan mempertimabangkan ke Indonesia an kita. Posmodern Amerika dan Eropa, seharusnya berbeda denga posmodernisme Indonesia. Kareana historis (fakta sejarah) lokalnya jauh berbeda. Hal yang paling berbahaya adalah ketika kaum konsumtif berada di sistem pendidikan Indonesia yang akan melahap pemikiran global secara leterlek tanpa adanya kritik.
Bukankah presiden pertama kita Ir. Soekarno pernah berkata JASMERAH jangan sampai melupakan sejarah. Karena sejarah sendiri merupakan fakta masa lalu kita. Ini berarti untuk menjadi bangsa besar, tangguh, dan memiliki survivle, kita wajib untuk tidak melupakan sejarah negara kita sendiri. Apakah kita lupa dengan Ki Hajar Dewantara dengan sistem among dan taman siswanya. Apakah kita sudah lupa pada Kuncoraningrat, Agus Salim, Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, dll. Padahal mereka telah bersusah payah melahirkan pemikiran dan teori yang berasakan pada kearifan budaya lokal demi kemajuan bangsa Indonesia. Namun kita sebagai generasi penerusnya, justru menelantarkan dan membuang jauh pemikiran-pemikiran mereka. Justru ketika kita mmau mengambil dan merujuk pada teori-teori bangsa sendiri, akan menghasilakn dinamisasi pendidikan. Karena teori-teori sendiri merujuk langsung pada tatanan nilai dan sosiokultur kita sebagai bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya kita mendengungkan pendidikan yang berbasis kearifan budaya lokal.
Tapi yang jelas, dalam tulisan ini saya tidak akan berbincang masalah kemampuan eksistensi saya dalam bidang perpokeran yang sudah tersohor di seantero gang tempat saya bermukim. Selama ini, poker bagi saya bukanlah segala-galanya dan juga bukan menjadi tujuan utama dalam hidup. Poker hanyalah jadi selingan diantara ruetnya sejuta masalah yang merundung anak kos-kosan. Selingan yang tidak terlalu penting. Namun, poker akan menjadi sesuatu hal yang penting dan menghasilkan manfaat, jika diselipkan sedikit diskusi di dalamnya. Nampaknya hal itu sering kami lakukan bersama dengan teman-teman geng saya. Biasanya kami berbincang dengan topik berfariasi, yakni masalah agama, politik, filsafat, sampai masalah cinta. Namun masalah yang kami bahas tadi malam agaknya berbeda dengan tema bahasan kami selama ini.
Tema kehidupan. Tema inilah yang tiba-tiba muncul di permukaan awal diskusi kami. Awalnya teman saya melontarkan sebuah permasalahan dalam hidupnya. Permasalahan yang selama ini membuat tegang seluruh urat saraf otaknya. Saya faham betul kenapa teman saya sampai sebegitu bingungnya dengan permasalahannya. Teman saya yang satu ini memang unik dinandingkan dengan teman yang lainnya. Dia tidak akan berhenti berfikir dan mencari jawaban dari setiap masalah dalam kehidupannya. Permasalahannya menurut saya sepele saja. Namun karena teman saya ini selalu terbiasa dengan gaya berfikir mendalam, jadi dia lupa pada pola berfikir permukaan (sederhana). Mungkin dia lupa bahwa tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan cara berfikir mendalamnya. Ada kalanya sebuah masalah justru bisa diselesaikan denagan cara berfikir sedethana. Tentunya kita masih ingat dengan cerita peletakan hajar aswad ke tembok kakbah. Bukankanh permasalahan ini adalah permasalahan yang bagi suku kuraish. Masalah yang sempat membuat adu jotos. Tetapi masalah ini justru dapat diselesaikan dengan mudah oleh seorang pemuda bernama Muhammad dengan cara berfiir sederhana.
Bukankah ada pepatah “gajah di pelupuk mata tidak terlihat, tapi kuman diseberang kelihatan”. Gajah dan kuman di sini saya posisikan sebuah alternatif solusi dari sebuah permasalahan. Sayangnya teman saya sudah terbiasa untuk mengambil kuman tadi dari pada gajah yang ada di dekatnya sebagai alternatif solusi dari permasalahannya. Padahal ketika tenman saya ingin mengambil kuman sebagai alternatif solulisi permasalahannya, maka dia harus puluhan kilo meter untuk meraihnya.
Saya pikir (firus) cara berfikir seperti ini telah merambah sebagian besar kaum intelektualitas kita. Tak terkecuali intelektual yang duduk di jajaran birokrasi bangsa ini. Mereka sering melihat jauh keluar untuk menyelesaikan masalah-masalah di negeri ini. Padahal masalah-masalah yang ada di Indonesia jauh berbeda dengan masalah negara lain. Indonesia memiliki keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang lainya. Dengan pola seperti inilah lahir kebijakan-kebijakan yang tidak relevan, berpijak, dan tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat. Sekarang kita ambil contoh dalam bidang pendidikan. Selama ini, kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia lebih merujuk pada pemikir-pemikir dari luar. Khususnya bangsa barat. Seperti aliran Nativisme, Empirisme, natiralisme, konfergensi, kognitifisme, behaviorime, konstruktifisme, dll. Selain itu kita kita juga sering mengambil teori-teori dari John Lock, Imanuel khan, Plato, Sokrates, Hegel, Aristoteles, dll.
Padahal belum tentu aliran dan pemikiran mereka bisa diterima oleh bangsa ini. Pasalnya, kebiasaan dan kebudayaan barat sangat jauh berbeda dengan sosio kultural bangsa indonesia. Apa jadinya kalau sebuah sistem atau pemikiran yang tidak relevan kemudian dikonfrontasikan dengan sebuah tatanan nilai luhur yang sudah berakar di indonesia?. Bukan tidak mungkin akan terjadi Sistem Of Chaos. Sudah saatnya kita berani untuk membuah sebuah Counter Coultur. Membuat arus perlawanan.
Selama ini memang sering banyak terjadi benturan konsep kelokalan dan konsep keglobalan. Para penganut konsep keglobalan menginkrarkan”budaya dunia adalah warisan kami”. Sejak itulah warisan budaya lokal menjadi sebuah tradisi kecil dan termarjinalkan dalam pendidikan Indonesia. Pendidikan merupakan potret telanjang dari bangsanya. Pengetahuan lokal yang berakar pada nilai-nilai kebudayaan tentang fakta lokal seharusnya menjadi trendsetter dengan mengangkat pengalaman-pengalaman otentik lokal. Inilah yang seharusnya diangkat oleh pemerintah, kemudian dijadikan sebagai sebuah pijakan dalam menentukan kebijakan.
Berpijak pada penggolongan intelektual Edward Silhs, apakah pemikir-pemikir yang berkecimpung dalam dunia pendidikan kita tergolong intelektual produktif, reproduktif, dan konsumtif?. Intelektual produktif merupakan intelektual otentik yang membangun pemikirannya sendiri atas fakta zamannya, yang belum ditemukan oleh intelektual manapun. Intelektual reproduktif adalah intelektual yang melahirkan teori-teori dari pemikiran kaum intelektual produktif. Sedangkan intelehtual konsumtif adalah intelektual pemakai dari intelektula produktif maupun reproduktif. Eksistensialisme pendidikan Indonesia seharusnya berorientasi pada paradoks produktif. Kalaupun itu tidak bisa, reprodutifpun jga tidak apa-apa. Aslakan dengan mempertimabangkan ke Indonesia an kita. Posmodern Amerika dan Eropa, seharusnya berbeda denga posmodernisme Indonesia. Kareana historis (fakta sejarah) lokalnya jauh berbeda. Hal yang paling berbahaya adalah ketika kaum konsumtif berada di sistem pendidikan Indonesia yang akan melahap pemikiran global secara leterlek tanpa adanya kritik.
Bukankah presiden pertama kita Ir. Soekarno pernah berkata JASMERAH jangan sampai melupakan sejarah. Karena sejarah sendiri merupakan fakta masa lalu kita. Ini berarti untuk menjadi bangsa besar, tangguh, dan memiliki survivle, kita wajib untuk tidak melupakan sejarah negara kita sendiri. Apakah kita lupa dengan Ki Hajar Dewantara dengan sistem among dan taman siswanya. Apakah kita sudah lupa pada Kuncoraningrat, Agus Salim, Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, dll. Padahal mereka telah bersusah payah melahirkan pemikiran dan teori yang berasakan pada kearifan budaya lokal demi kemajuan bangsa Indonesia. Namun kita sebagai generasi penerusnya, justru menelantarkan dan membuang jauh pemikiran-pemikiran mereka. Justru ketika kita mmau mengambil dan merujuk pada teori-teori bangsa sendiri, akan menghasilakn dinamisasi pendidikan. Karena teori-teori sendiri merujuk langsung pada tatanan nilai dan sosiokultur kita sebagai bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya kita mendengungkan pendidikan yang berbasis kearifan budaya lokal.