Oleh. Fajar Wahyu Widodo*
Begitu banyak kritik, cercaan, dan hujatan yang dilontarkan untuk film laskar pelangi akhir-akhir ini. Hampir setiap orang menggunjingnya. Termasuk teman-teman saya di kampus maupun di kos-kosan. Mereka bilang, bahwa film lascar pelangi telah menyalahi garis-garis besar haluan novel (GBHN) laskar pelangi yang memang terlahir terlebih dahulu dibandingkan filmnya. Namun, bagi teman-teman saya yang belum sempat membaca novel laskar pelangi, lebih banyak diam dan mengambil jarak aman dengan memilih netral. Termasuk saya.
Saya paham betul kenapa teman-teman saya bisa berbuat seperti itu. Hal ini memang sangat wajar bagi orang-orang yang belum begitu faham perbedaan antara film dan novel. Sejatinya ada beberapa hal yang menyebabkan asumsi-asumsi itu muncul. Pertama, paradigma seseoarang akan selalu mengukur (membandingkan) segala sesuatu dengan sesuatu yang sifatnya lebih awal. Tak terkecuali antara film laskar pelangi dan novelnya. Pada kasus ini, memang kebetulan Novelnya lebih dahulu keluar, kemudian baru filmnya. Secara psikologis, orang akan selalu berpatokan pada sesuatu yang munculnya lebih awal (dalam hal ini novel laskar pelangi). Pada tataran ini orang akan selalu mengkritik adegan-adegan film yang tidak sesuai dengan novel. Baik dari segi karakter, setting tempat, plot, bahkan penambahan dan penghilangan beberapa tokoh. Inilah yang selama ini memancing adanya cercaan dan kritikan terhadap film laskar pelangi. Kondisi ini akan amat berbeda, jika sekuel film laskar pelangi lebih dahulu muncul dibandingkan dengan novelnya. Saya pikir justru akan banyak cercaan yang akan ditimpakan pada novelnya.
Kedua, dalam film, imajinasi kita (pembaca) akan dibatasi, disetir dan cenderung dipaksa oleh imajinasi sutradara. Dalam film kita tidak diberi kesempatan untuk memilih imajinasi berdasarkan interpretasi kita sendiri. Kita tidak boleh memilih sendiri tokoh favorit untuk bermain dalam film. Terkadang tokoh yang paling kita sukai dalam novel justru diperankan oleh aktor ataupun aktris yang paling kita benci. Interpretasi kita tentang seting tempat, plot, dan lain sebagainya juga akan dikebiri oleh si sutradara. Sering kali, segala sesuatu yang kita pikirkan dan kita bayangkan, akan sangat berbeda dengan penilaian dari sutradara. Semuanya akan dimonopoli oleh si sutradara. Hal ini akan berbeda ketika kita membaca langsung novelnya. Dalam novel, kita bisa mengekspresikan segala sesuatu yang kita inginkan. Kita bisa mengimajinasikan tokoh-tokohnya dengan orang yang paling kita sukai. Kita bisa mengimajinasikan setting tempat dengan tempat yang paling kita sukai. Tanpa takut ada orang yang memaksa dan menghalag-halangi kita dalam mekeksplorasi sebuah novel.
Ketiga, tidak semua bahasa tulis bisa dimanivestasikan kedalam bentuk bahasa visual. Termasuk novel laskar pelangi. Ada beberapa muatan dalam bahasa tulis yang memang tidak bisa terdeteksi dan terwakili jika dirubah kedalam bentuk bahasa visual. Bahasa visual juga demikian. Akan ada sesuatu yang hilang, jika bahasa visual dirubah kedalam bentuk bahasa tulis. Jadi, antara bahasa tulis dan bahasa visual memiliki keunggulan tersendiri dan memiliki muatan khusus yang tidak bisa diterjemahkan antara yang satu dengan yang lain.
Dari beberapa analisis di atas, jelaslah bahwa antara novel dan film, memliliki jarak perspektif yang sangat jauh berbeda. Film bergerak dalam ranah bahasa visual dan audio, sedangkan novel bergerak dalam ranah bahasa tulis. Tak terkecuali antara film laskar pelangi dengan novel laskar pelangi. Saya pikir, memang perbedaan di antara keduanya wajib adanya, kareana mereka bergerak dalam ranah yang berbeda pula. Sudah saatnya kita berfikir lebih dewasa dalam menyikapi hal-hal seperti ini.
Saya paham betul kenapa teman-teman saya bisa berbuat seperti itu. Hal ini memang sangat wajar bagi orang-orang yang belum begitu faham perbedaan antara film dan novel. Sejatinya ada beberapa hal yang menyebabkan asumsi-asumsi itu muncul. Pertama, paradigma seseoarang akan selalu mengukur (membandingkan) segala sesuatu dengan sesuatu yang sifatnya lebih awal. Tak terkecuali antara film laskar pelangi dan novelnya. Pada kasus ini, memang kebetulan Novelnya lebih dahulu keluar, kemudian baru filmnya. Secara psikologis, orang akan selalu berpatokan pada sesuatu yang munculnya lebih awal (dalam hal ini novel laskar pelangi). Pada tataran ini orang akan selalu mengkritik adegan-adegan film yang tidak sesuai dengan novel. Baik dari segi karakter, setting tempat, plot, bahkan penambahan dan penghilangan beberapa tokoh. Inilah yang selama ini memancing adanya cercaan dan kritikan terhadap film laskar pelangi. Kondisi ini akan amat berbeda, jika sekuel film laskar pelangi lebih dahulu muncul dibandingkan dengan novelnya. Saya pikir justru akan banyak cercaan yang akan ditimpakan pada novelnya.
Kedua, dalam film, imajinasi kita (pembaca) akan dibatasi, disetir dan cenderung dipaksa oleh imajinasi sutradara. Dalam film kita tidak diberi kesempatan untuk memilih imajinasi berdasarkan interpretasi kita sendiri. Kita tidak boleh memilih sendiri tokoh favorit untuk bermain dalam film. Terkadang tokoh yang paling kita sukai dalam novel justru diperankan oleh aktor ataupun aktris yang paling kita benci. Interpretasi kita tentang seting tempat, plot, dan lain sebagainya juga akan dikebiri oleh si sutradara. Sering kali, segala sesuatu yang kita pikirkan dan kita bayangkan, akan sangat berbeda dengan penilaian dari sutradara. Semuanya akan dimonopoli oleh si sutradara. Hal ini akan berbeda ketika kita membaca langsung novelnya. Dalam novel, kita bisa mengekspresikan segala sesuatu yang kita inginkan. Kita bisa mengimajinasikan tokoh-tokohnya dengan orang yang paling kita sukai. Kita bisa mengimajinasikan setting tempat dengan tempat yang paling kita sukai. Tanpa takut ada orang yang memaksa dan menghalag-halangi kita dalam mekeksplorasi sebuah novel.
Ketiga, tidak semua bahasa tulis bisa dimanivestasikan kedalam bentuk bahasa visual. Termasuk novel laskar pelangi. Ada beberapa muatan dalam bahasa tulis yang memang tidak bisa terdeteksi dan terwakili jika dirubah kedalam bentuk bahasa visual. Bahasa visual juga demikian. Akan ada sesuatu yang hilang, jika bahasa visual dirubah kedalam bentuk bahasa tulis. Jadi, antara bahasa tulis dan bahasa visual memiliki keunggulan tersendiri dan memiliki muatan khusus yang tidak bisa diterjemahkan antara yang satu dengan yang lain.
Dari beberapa analisis di atas, jelaslah bahwa antara novel dan film, memliliki jarak perspektif yang sangat jauh berbeda. Film bergerak dalam ranah bahasa visual dan audio, sedangkan novel bergerak dalam ranah bahasa tulis. Tak terkecuali antara film laskar pelangi dengan novel laskar pelangi. Saya pikir, memang perbedaan di antara keduanya wajib adanya, kareana mereka bergerak dalam ranah yang berbeda pula. Sudah saatnya kita berfikir lebih dewasa dalam menyikapi hal-hal seperti ini.
4 komentar:
aduh pak fajar ada-ada saja teorinya.
mempunyai pandangan yang berbeda dari yang lain perlu diacungi jempol,apalagi dapat menganalisa pandangan seseorang yang berbeda pandangan dengan kita.hebat deh buat kakak(mas wit)
jar buka blogku yaah
www.aabmuhammad.blogspot.com
Jar yok opo kabare. blogmu tak link yo?ojo lali blogq link-en