MEMPERTANYAKAN EKSISTENSI TUHAN
21.31 | Author: CORPS BRIBU
Kampus merupakan salah satu bentuk dari sebuah miniatur dari mayarakat. Di kampus, dapat ditemui berbagai macam mahasiswa dengan latar belakang yang berbeda. Baik dari segi suku, agama, ras, profesi, tingkat intelektual, signifikansi wajah, dan lain sebagainya. Selain itu, ada pula perbedaan yang tidak bisa diindra secara kasat mata. Perbedaan itu adalah pemikiran dan cara pandang setiap mahasiswa terhadap sesuatu. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap mahasiswa memiliki paradigma berbeda dengan paradigma mahasiswa yang lainnya. Hal ini menjadi sesuatu yang lumrah. Sebenarnya pemikiran-pemikiran yang ditelurkan oleh mahasiswa-mahasiswa di lingkungan kampus tidak terlepas dari berkembangnya pemikiran-pemikiran yang beredar secara luas di masyarakat umum.

Salah satu pemikiran dan cara pandang mahasiswa yang selalu dipergunjingkan dalam ranah masyarakat kampus adalah masalah eksistensi Tuhan. Sebenarnya cara pandang mahasiswa terhadap eksistensi Tuhan yang beredar di lingkungan kampus dapat dikelompokkan menjdi tiga.

Pertama, mahasiswa yang pro dengan sosialis. Dalam cara pandangnya, mereka banyak mengadopsi pemikiran-pemikira dari Marx. Salah satunya adalah pemikiran Marx yang menganggap agama adalah candu (the oppiate of the masses). Kedua, mahasiswa yang pro kapitalis sekuleris. Walaupun cara pandang mereka yang meyakini keberadaan Tuhan, namun mereka telah memisahkan antara kekuasaan Tuhan dan kekuasaan manusia. Mereka membagi kekuasaan Tuhan pada ranah religius dan kekuasaan duniawi dipegang penuh oleh manusia. Ketiga, mahasiswa yang pro Islam. Mereka beranggapan bahwa eksistensi atau keberadaan Tuhan tidak perlu diragukan lagi dan tidak dapat diganggu gugat. Mereka juga beranggapan bahwa eksistensi Tuhan tidak hanya terbatas pada sisi religius saja, melainkan juga sisi kehidupan duniawi.

Sesungguhnya, ketika berbicara masalah eksistensi Tuhan, tidak dapat dilepaskan dari naluri beragama atau naluri untuk bertuhan. Ada sebuah kisah menarik yang masih belum banyak terekspos di masyarakat umum. Kisah ini dialami oleh Joseph Stalin. Pada saat ia sakit parah dan menunjukkan adanya indikasi yang mengarah pada kematian, salah satu penggerak Revolusi Bolshevik ini hanya ditemani oleh beberapa pelayan terpercayanya. Sesaat sebelum maut menjemputnya, Stalin meminta kepada pelayannya untuk memanggilkan seorang pastur agar diajarkan cara berdo’a. Permintaan Stalin ini sontak membuat kaget para pelayannya. Namun, karena Stalin memaksa, akhirnya seorang pastur pun dipanggil untuk mengajarinya berdoa. Di hadapan sang pastur, Stalin berujar dalam bahasa Rusia “man of stee”l yang artinya, “Pastor, ajarkanlah saya berdoa.” Konon, itulah kalimat terakhir yang diucapkannya sebelum ajal menjemput.

Cerita di atas menegaskan sesungguhnya jauh dalam palung hati setiap manusia ada sebuah rasa untuk mengkultuskan dan mengagungkan sesuatu hal, baik yang dapat diindra maupun yang tidak dapat diindra sekalipun. Serta menganggap bahwa ada kekuatan yang jauh lebih besar dan maha dahsyat yang menyelimuti dunia ini. Perilaku seperti ini sudah menjadi naluri dan sunnatullah yang keberadaannya tidak bisa ditolak dan ditawar lagi.

Prof. Dr. H. Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Agama menjelaskan bahwa agama tampaknya tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama agaknya dikarenakan faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya sulit dilakukan. Ketundukkan manusia pada Zat yang gaib merupakan bagian dari faktor intern manusia yang dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (self) ataupun hati nurani (conscience of man).

Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Albert Einstein dalam sebuah artikelnya. Ia menulis “Everyone who is seriously involved in the pursuit of science becomes convinced that a spirit is manifest in the laws of the Universe-a spirit vastly superior to that of man… In this way the pursuit of science leads to a religious feeling of a special sort, which is indeed quite different from the religiosity of someone more naïve (Letter to a child who asked if scientists pray, 24 Januari 1936; Einstein Archive, 42-601).”

Menurut Rudolf Otto, seorang filsuf dan teolog Jerman, kekaguman yang dialami Einstein timbul dari perasaan yang bersumber dari adanya The Wolly Others dan yang menimbulkan perasaan getaraan yang misterius (mysterium tremendum). Sedangkan yang dialami Stalin, menurut Sigmund Freud adalah gejala kejiwaan yang menimbulkan rasa bersalah (sense of guilt) serta takut akan kematian (death urge).

Stetmen-stetmen di atas merupakan pukulan telak bagi orang-orang yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Dunia seisinya tidaklah terbuat oleh materi saja yang terjadi secara kebetulan. Melainkan ada kekuatan maha dahsyat di belakang semua ini. Alam semesta ini terbentuk dari skenario-skenario yang sangat sempurna. Socrates saja pernah mengatakan “Tidak mungkin ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan.” Perkataan Socrates ini kembali menegaskan bahwa alam semesta ini ada karena ada yang mengadakan. Tidak mungkin ada sesuatu kecuali ada yang mengadakan. Dan itu adalah Tuhan.

Ada sebuah kisah yang berasal dari bagdad. Pada masa itu ada orang pintar yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Dia menantang seluruh kaum muslim untuk menjawab tiga pertanyaannya. Namun tidak ada satu orang pun yang bisa menjawabnya. Kemudian muncullah bocah berumur 10 tahun yang menerima tantangannya. Langsung saja orang tadi melontarkan pertanyaan pertamanya dari sebuah podium “Apa yang dilakukan Tuhanmu sekarang?”. Bocah tadi meminta orang itu untuk turun dari podium agar dia biasa menjawab pertanyaannya dari podium. Bocah tadi menjawab “Allah baru saja menurunkan manusia laknat dari sebuah podium dan mengangkat seorang bocah diatas podium”. “Apa yang ada sebelum Tuhanmu?”. Si bocah menyuruh orang tadi berhitung dari 0-10. lalu si bocah bertanya “Angka berapa sebelum 0?”. Orang tersebut tidak bisa menjawabnya. Dengan sedikit malu dia melemparkan pertanyaan terahir “Kemanakah tuhanmu menghadap?”. Sibocah kemudian mengambil dan menanyakan lilin. Si bocah bertanya kepada orang itu “kearah manakah cahaya lilin menghadap?”. “ kesemua arah” jawab orang tadi. Si bocah kemudian menjawab “Seperti itulah cahaya Allah menghadap.

Pengakuan terhadap eksistensi Tuhan merupakan sebuah bagian dari naluri beragama. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, naluri beragama (gharizah at-tadayyun) adalah kebutuhan internal dalam diri manusia. Ia akan bereaksi terhadap stimulan semisal fenomena alam semesta dan juga adanya ancaman. Tuduhan Sigmund Freud yang menganggap bahwa kepercayaan terhadap agama dan Tuhan adalah neurosis, atau gangguan jiwa atau sesuatu yang datang dari alam bawah sadar manusia (unconscious mind) adalah salah besar. Sampai saat ini pun belum ada penelitian ilmiah yang dapat mendukung stetmen dari Sigmun Freud. Kebutuhan agama yang dirasakan oleh stiap manusia merupakan bagian alamiah akan pemenuhan dari sebuah naluri. R. Joseph dalam Neuro Theology: Brain, Science, Spirituality, Religious Experience, menuliskan:

“Pernah diumumkan bahwa Tuhan sudah mati dan bahwa spiritualitas adalah candu bagi rakyat. Tetapi, sekarang sudah ditemukan dasar ilmiah, neurologis, dan genetis untuk kepercayaan agama, spiritualitas dan gejala paranormal, termasuk pengalaman tentang dewa, setan, arwah, nyawa dan kehidupan setelah kematian. Ada bagian tertetnu dari otak yang menjadi sangat aktif ketika bermimpi selama dalam keadaan trance, meditasi, sembahyang atau karena pengaruh LSD, dan yang memungkinkan kita untuk mengalami wilayah realitas yang biasanya disaring dari kesadaran, termasuk realitas Tuhan, arwah, jiwa dan kehidupan setelah kematian.

Selama ribuan tahun orang tahu bahwa dalam keadaan tidur dan trance, terisolasi, dan karena kelaparan dan kehausan manusia sanggup mengalami wilayah realitas yang biasanya disaring dari permukaan kesadaran. Pada kondisi seperti ini, berbagai bagian dari ssitem neokorteks dan sistem limbik akan menjadi sangat aktif bahkan hiperaktif, sehingga apa yang biasanya disaring itu sekarang dapat dipersepsi. Dalam kondisi ini, ada yang mengaku berbicara dengan Tuhan, untuk menyatu dengan zat spiritual yang agung. Struktur sistem limbik, seperti amigdala, hypocampus, dan inferior temporal lobe telah berulang-ulang ditemukan memberikan dasar bagi pengalaman agama, spiritual, dan mistikal, serta persepsi, ‘halusinasi’ tentang hantu, setan, arwan dan kepercayaan dihuni oleh ruh atau malaikat. Ketika wilayah otak ini dihiperaktifkan, tidak jarang terjadi pengalaman ‘religius’. Tentu saja, ada sebagian orang yang megnatakan bahwa pengalaman ini hanyalah sekedar halusinasi yang dihasilkan oleh otak yang abnormal. Ini benar dalam beberapa kasus. Bukannya karena abnormalitas, pengalaman religius dan pencarian gizi spiritual adalah kejadian umum dan bukan kekecualian. Kemunculan emosi spiritual dan keberagamaan yang alamiah dapat menjelaskan mengapa walaupun diteror dan ditindas selama puluhan tahun, negara-negara totaliter seperti Cina komunis, Kuba dan bekas Uni Soviet tidak mampu dan belum pernah mampu menghancurkan ungkapan agama dan spiritual di negeri mereka.”

Jelas sudah, bahwa dogma-dogma yang didengungkan oleh kaum sosialis komunis dan kaum-kaum yang tidak percaya adanya keberadaan Tuhan adalah salah besar. Penelitian yang dilakukan oleh R. Joseph dalam Neuro Theology: Brain, Science, Spirituality, Religious Experience, mengindikasikan dengan jelas bahwa eksistensi Tuhan tidak perlu dipertanyakan lagi. Penelitian ini sekaligus juga meruntuhkan seluruh doktrin dari kaum komunis yang tidak pernah percaya
pada eksistensi Tuhan.
This entry was posted on 21.31 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: